Calon Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengingatkan karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan yang menyebabkan selalu ada potensi separatisme serta konflik komunal. "Konflik komunal berbasis suku, agama, ras dan antar-golongan akan selalu ada sehingga harus terus diwaspadai," kata Hadi dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI, di Ruang Rapat Komisi I DPR di Jakarta, Rabu (6/12). Dia menjelaskan lebih jauh di era reformasi demokrasi politik yang seringkali mengarah kepada liberalisasi, berpotensi menjadi liberal dilema. Menurut dia, apabila kondisi itu tidak dikelola secara bijaksana, bukan tidak mungkin konflik komunal tersebut akan meningkat menjadi konflik vertikal berbentuk rongrongan terhadap legitimasi pemerintahan yang sah atau pemberontakan. Sesuai doktrin TNI saat ini maka tugas TNI yang masih sangat relevan adalah TNI sebagai kekuatan penyerang, TNI sebagai kekuatan pertahanan, TNI sebagai kekuatan pendukung, dan TNI sebagai instrumen
Indonesia adalah negara yang terbentuk dari beragam suku, ras, agama, dan budaya. Perbedaan yang ada di Indonesia merupakan kekayaan yang harus kita syukuri. Apalagi Indonesia memiliki semboyan yaitu, Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya adalah "Berbeda-beda tetapi tetap satu"[1]. Seperti semboyannya, Indonesia diharapkan dapat menjaga persatuannya walaupun berasal dari berbeda-beda suku maupun budaya. Namun tetap saja persatuan itu kadang akan menempuh ujian yang dimana akan bertemu dengan konflik. Kita tahu bahwa sebuah konflik tidak dapat dihindari. Sebagai negara yang majemuk dengan berbagai suku, ras, agama, dan budaya. Indonesia merupakan negara yang rawan akan konflik SARA. Beberapa sejarah kelam Indonesia yang termasuk dalam konflik SARA adalah konflik Dayak dan Madura, warga Tionghia dan Konflik Moneter 1998, peristiwa tragis Ambon. Pilkada Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 pun tidak dapat terhindar dari konflik SARA yang melip